PENCANANGAN MAGETAN SEBAGAI KABUPATEN PENDIDIKAN INKLUSIF





Latar Belakang Pendidikan Inklusif 

Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (‘normal’) dalam memperoleh layanan pendidikan. Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui Sekolah Luar Biasa dengan jenjang: TK Luar Biasa, Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), SMP Luar Biasa dan Sekolah Menengah Luar Biasa. 

Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, yaitu: 
  1. SLB/A untuk anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), 
  2. SLB/B untuk anak dengan hambatan pendengaran (tunarungu), 
  3. SLB/C untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (tunagrahita), 
  4. SLB/D untuk anak dengan hambatan fisik dan motorik (tunadaksa), 
  5. SLB/E untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (tunalaras), dan 
  6. SLB/G untuk anak dengan hambatan majemuk (tunaganda). 


Berdasarkan kondisi aktual, pada umumnya lokasi Sekolah Luar Biasa yang meliputi jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMLB berada di Kabupaten, sehingga anak berkebutuhan khusus (ABK) yang pada umumnya tersebar di desa maupun di daerah terpencil dan atau terisolasi tidak terlayani pendidikannya. Di samping itu juga ditemukan bahwa sebagian besar orang tua Anak Berkebutuhan Khusus secara ekonomi termasuk kategori lemah, sehingga mereka terpaksa tidak mampu menyekolahkan anaknya. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan program wajib belajar pendidikan dasar sulit untuk dapat diwujudkan. Sejumlah ABK yang tinggal di desa-desa dan jauh dari jangkauan sekolah luar biasa, dapat kehilangan hak dasar pendidikan karena akses pendidikan yang terbatas. 

ABK semakin merasakan betapa pendidikan terkesan deskriminatif. Untuk mengatasi problema tersebut, pemerintah menyediakan program pelayanan pendidikan yang mudah diakses oleh ABK di manapun mereka berada. Kebijakannya adalah setiap satuan pendidikan reguler, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah umum dan kejuruan, didorong untuk dapat menerima ABK dari lingkungan sekitar yang akan menyelesaikan pendidikannya pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sistem pendidikan di sekolah reguler dirancang sedemikian rupa sehingga antara siswa reguler dan siswa ABK dapat belajar bersama-sama dalam suatu kelas yang masing-masing mendapatkan pelayanan sesuai dengan potensi dan keterbatasannya. Sistem layanan pendidikan yang memberikan ruang dan tempat bagi ABK untuk belajar bersama anak-anak reguler pada umumnya tersebut, selanjutnya disebut sebagai sistem pendidikan inklusif. Penyelenggaraan program pendidikan inklusif merupakan implementasi dari amanat UU No. 20 Tahun 2003 khususnya sebagaimana tercantum dalam pasal 5, pasal 15 dan penjelasannya yang menegaskan bahwa pendidikan khusus dapat diselenggarakan secara inklusif dan/atau berupa satuan pendidikan khusus. Lebih lanjut permendiknas tentang pendidikan inklusif pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah ”Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik dari berbagai kondisi dan latar belakang untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya”; dan ayat (2) ”Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik”. 

Pendidikan inklusif juga berfungsi menjamin semua peserta didik mendapat kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya di berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan, serta menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan ramah bagi semua peserta didik sehingga dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Pendidikan inklusif telah berjalan sejak satu dasawarsa yang lalu. Data direktorat PKPLK tahun 2010 menyebutkan bahwa anak berkebutuhan khusus yang memperoleh layanan pendidikan melalui pendidikan inklusif sebanyak 15.144 siswa pada 811 sekolah reguler, dengan rincian SD 13.590 siswa di 653 sekolah, SMP 1.309 siswa di 97 sekolah, dan SMA 245 siswa di 61 sekolah. jumlah tersebut belum ideal dibanding dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang ada saat ini. Artinya pendidikan inklusif masih harus terus ditingkatkan supaya dapat memberi kesempatan kepada lebih banyak anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan. 

Di sisi lain, pelaksanaan pendidikan inklusif saat ini juga masih menghadapi sejumlah kendala dan tantangan, di antaranya adalah 
  1. Pemahaman dan sikap yang belum merata di kalangan masyarakat tentang pendidikan inklusif, 
  2. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru dalam memberi layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus, 
  3. Sarana dan lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya aksesable bagi disabilitas, dan lain-lain. 

Menyadari bahwa sistem pendidikan inklusif mempunyai peran yang strategis dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun maka menuntut pemahaman dan perubahan cara pandang bagi semua komponen sekolah, masyarakat dan stake holder, agar kebijakan tersebut dalam implementasinya tidak kontra produktif, dipandang perlu adanya rencana strategi penyelenggaraan pendidikan inklusif Kabupaten Magetan.

sumber : disini
PENCANANGAN MAGETAN SEBAGAI KABUPATEN PENDIDIKAN INKLUSIF PENCANANGAN MAGETAN SEBAGAI KABUPATEN PENDIDIKAN INKLUSIF Reviewed by Lintang on 08:31 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.